InternationalLatestNewsPolitics

Donald Trump Bernafsu Kuasai Gaza dan Relokasi Warga Palestina, Kepentingan Bisnis Properti?

Warta nusantara, Jakarta – Lawatan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Amerika Serikat (AS) menuai sorotan, mengingat Gedung Putih kini dipimpin oleh Donald Trump, yang dikenal dengan kebijakan pro-Israel pada masa pemerintahannya.

Salah satu kebijakan yang paling mencolok adalah pengakuan sepihak Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017, yang kemudian diikuti oleh pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018. Pada 21 Maret 2019, Trump juga mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.

“Tantangan lama memerlukan pendekatan baru,” kata Trump pada 6 Desember 2017 saat mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Kunjungan Netanyahu di Tengah Negosiasi Gencatan Senjata Hamas-Israel

Kunjungan Netanyahu ke AS berlangsung di tengah upaya gencatan senjata fase dua antara Hamas dan Israel. Namun, ketegangan meningkat setelah konferensi pers bersama Netanyahu di Gedung Putih pada 4 Februari 2025, di mana Trump mengusulkan gagasan kontroversial terkait Jalur Gaza. Ia menyarankan untuk mengambil alih kepemilikan Jalur Gaza, melakukan relokasi warga Palestina ke negara-negara tetangga, dan mengembangkan wilayah Gaza yang hancur akibat perang menjadi apa yang ia sebut “Riviera Timur Tengah“.

Rencana Trump Bertentangan dengan Kebijakan AS dan Aspirasi Palestina

Pernyataan Trump ini jelas bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS selama beberapa dekade, yang mendukung solusi dua negara (two-state solution) dan menghindari keterlibatan langsung AS di Timur Tengah.

Trump mengungkapkan, “AS akan mengambil alih Jalur Gaza dan kami akan menangani wilayah itu,” dengan rencana jangka panjang untuk meratakan wilayah tersebut, membersihkan bom yang belum meledak, dan menghancurkan sisa-sisa bangunan yang hancur akibat perang. Trump bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengirimkan pasukan AS ke Gaza, dengan mengatakan, “Untuk Gaza, kami akan melakukan apa saja yang diperlukan.”

Namun, tidak jelas bagaimana rencana ini akan dilaksanakan.

Reaksi Palestina dan Negara-negara Lain

Gagasan Trump ini ditentang keras oleh pihak Palestina. Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri, menyebut rencana tersebut sebagai “resep untuk menciptakan kekacauan” dan menegaskan bahwa rakyat Gaza tidak akan menerima pemindahan paksa tersebut.

Berdasarkan data PBB, terdapat sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina di seluruh dunia, banyak di antaranya berasal dari Gaza. Trump menolak gagasan pengungsi Palestina kembali ke tanah kelahiran mereka di Gaza, menyebutnya sebagai “simbol kematian dan kehancuran.”

Rencana relokasi ini juga menuai penolakan keras dari negara-negara Arab dan komunitas internasional. Indonesia, misalnya, dengan tegas menolak segala upaya untuk merelokasi warga Palestina secara paksa, dan menegaskan bahwa satu-satunya solusi adalah dengan mendirikan Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Arab Saudi, Rusia, China, Turki, dan negara-negara besar lainnya juga menyuarakan penolakan terhadap gagasan tersebut, mengingat potensi pelanggaran terhadap hukum internasional dan ketidakadilan terhadap rakyat Palestina.

Dimensi Bisnis dalam Usulan Trump

Tidak hanya menyentuh masalah geopolitik, Trump juga melihat Jalur Gaza sebagai peluang bisnis. Dengan latar belakang sebagai pengembang properti, Trump menggambarkan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah” dan mengusulkan untuk mengembangkan wilayah tersebut menjadi kawasan pesisir mewah, dengan kemungkinan melibatkan sejumlah investor internasional.

“Potensi di Jalur Gaza sangat luar biasa. Ini bisa menjadi sesuatu yang sangat fenomenal,” ujar Trump, yang berencana untuk mengunjungi Gaza dalam waktu dekat.

Reaksi Pengamat dan Masyarakat Internasional

Pengamat internasional menganggap gagasan Trump sebagai ide yang tidak realistis dan berpotensi melanggar hukum internasional. Rektor Universitas Jenderal A. Yani, Hikmahanto Juwana, menilai proposal tersebut sebagai “absurd” karena mencabut hak rakyat Palestina atas Gaza dan dapat berujung pada “ethnic cleansing” atau penghilangan etnis.

Irfan Ardhani, pengajar di Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa ide Trump mencerminkan bentuk kolonialisme modern yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan politik internasional. Menurutnya, pengambilalihan Gaza akan memperburuk ketidakadilan yang sudah lama dialami oleh rakyat Palestina.

Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Smith Alhadar, menambahkan bahwa rencana Trump juga akan merusak hubungan AS dengan negara-negara Arab, yang telah menunjukkan penolakan tegas terhadap pemindahan paksa warga Palestina.

BACA JUGA BERITA OLAHRAGA BASKET : FitPlay Journal

Gagasan Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina ke negara-negara tetangga mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, baik dari Palestina, negara-negara Arab, maupun komunitas internasional. Usulan ini dinilai bertentangan dengan hukum internasional dan berisiko memperburuk ketegangan di Timur Tengah. Meskipun Trump melihat Gaza sebagai peluang bisnis, banyak yang mempertanyakan apakah pendekatan semacam ini dapat membawa solusi damai yang berkelanjutan bagi wilayah yang telah lama dilanda konflik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *