LatestNewsPolitics

DPR Bisa Rekomendasikan Pencopotan Kapolri hingga Pimpinan KPK, Bentuk Intervensi?

Wartanusantara, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperkuat wewenangnya melalui revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dalam revisi ini, DPR menambahkan Pasal 228A yang memberi kewenangan kepada lembaga legislatif untuk mengevaluasi pimpinan lembaga negara yang ditetapkan melalui rapat paripurna.

Revisi ini disahkan dalam waktu singkat melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Senin, 3 Februari 2025. Dengan adanya Pasal 228A, pejabat negara yang telah mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) serta ditetapkan dalam rapat paripurna bisa dievaluasi oleh DPR.

Beberapa pejabat yang masuk dalam kategori ini antara lain pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), hakim Mahkamah Agung (MA), Panglima TNI, hingga Kapolri.

Dalam Pasal 228A Ayat (1) disebutkan bahwa DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah dipilih melalui fit and proper test. Ayat (2) menegaskan bahwa hasil evaluasi bersifat mengikat dan harus ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

DPR Hanya Bisa Memberi Rekomendasi

Wakil Ketua Baleg DPR, Martin Manurung, menegaskan bahwa revisi ini tidak berarti DPR bisa langsung mencopot pejabat. DPR hanya bisa memberikan rekomendasi berdasarkan hasil evaluasi.

“DPR tidak memiliki kewenangan mencopot, tetapi bisa menilai apakah pejabat terkait layak untuk ditinjau kembali. Rekomendasi ini kemudian diteruskan kepada pemerintah,” ujar Martin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 6 Februari 2025.

Martin menjelaskan bahwa evaluasi dilakukan oleh komisi terkait, kemudian diteruskan kepada pimpinan DPR sebelum akhirnya dikirim ke pemerintah.

Rekomendasi DPR Bersifat Mengikat

Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menegaskan bahwa presiden harus mematuhi rekomendasi DPR. Aturan baru ini, menurutnya, bersifat mengikat, termasuk jika pejabat yang dievaluasi direkomendasikan untuk dicopot.

“Rekomendasi evaluasi mengikat, sama seperti fit and proper test. Jika hasil evaluasi merekomendasikan pencopotan, presiden harus menindaklanjutinya,” kata Bob Hasan.

Ia menambahkan, jika seorang pejabat direkomendasikan untuk dicopot, DPR dapat meminta komisi terkait menggelar uji kelayakan dan kepatutan untuk menyeleksi penggantinya.

Bentuk Intervensi DPR?

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai aturan ini sebagai bentuk intervensi yang keliru dalam sistem ketatanegaraan.

“Meski tidak ada penyebutan pencopotan pejabat secara eksplisit, frasa ‘bersifat mengikat’ dalam Pasal 228A Ayat (2) bisa berujung pada pencopotan pejabat negara,” ujar Hendardi, Kamis, 6 Februari 2025.

Menurutnya, peraturan internal DPR seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan, bukan mengatur lembaga negara lain. Substansi pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

“Pasal 228A melampaui banyak undang-undang sektoral yang justru menjamin independensi lembaga seperti MA, MK, BI, KPK, dan KY. Ini bisa menjadi alat bagi DPR untuk melemahkan lembaga-lembaga tersebut,” tegas Hendardi.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai DPR telah melangkahi kewenangannya.

“Mengoreksi lembaga negara lain, apalagi memberhentikan pejabatnya, bukan tugas dan wewenang DPR. DPR telah mencampuri kekuasaan lembaga lain,” ujar Feri.

Feri juga menilai bahwa aturan ini bertentangan dengan prinsip konstitusional dalam sistem presidensial di Indonesia, di mana eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewenangan terpisah.

BACA JUGA BERITA OLAHRAGA BASKET : FitPlay Journal

Merusak Sistem Tata Negara

Hendardi menilai DPR gagal memahami fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945.

“Fungsi pengawasan DPR adalah mengawasi pelaksanaan undang-undang, bukan mengevaluasi individu pejabat negara,” ujarnya.

Oleh karena itu, Hendardi menegaskan bahwa revisi ini harus dibatalkan. Jika sudah diundangkan, ia mendorong agar aturan ini digugat ke Mahkamah Agung.

Sementara itu, Feri Amsari menilai revisi tata tertib DPR ini tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

“Peraturan DPR tidak bisa mengubah UUD 1945. Jika aturan ini diterapkan, maka sistem tata negara Indonesia akan rusak,” ujar Feri.

Ia menambahkan bahwa langkah hukum untuk membatalkan aturan ini bisa dilakukan melalui judicial review di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

Pemahaman DPR soal Hukum Tata Negara Dipertanyakan

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mempertanyakan keputusan DPR merevisi tata tertib sehingga bisa mengevaluasi pejabat negara, termasuk hakim konstitusi.

“Ini tidak perlu dijawab oleh Ketua MKMK, cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana logikanya tata tertib DPR bisa mengikat lembaga lain?” ujar Palguna, Kamis, 6 Februari 2025.

Palguna juga mempertanyakan pemahaman DPR tentang hukum ketatanegaraan.

“Masa DPR tidak mengerti hierarki norma hukum, teori kewenangan, dan pemisahan kekuasaan?” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian pimpinan KPK hanya bisa dilakukan oleh presiden sesuai dengan Undang-Undang.

“Surat keputusan pemberhentian harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang KPK,” ujar Tanak.

Ia juga menegaskan bahwa dalam Hukum Administrasi Negara, surat keputusan pemberhentian pejabat hanya dapat dikeluarkan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkatnya.

Dengan berbagai kritik ini, revisi tata tertib DPR dikhawatirkan akan merusak tatanan ketatanegaraan Indonesia dan membuka peluang intervensi politik terhadap lembaga independen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *