InternationalLatestPolitics

PBB Soroti Krisis Palestina, Solusi Dua Negara Kian Meragukan

Wartanusantara, Jakarta – Isu Palestina kembali menjadi sorotan dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun semakin jauh dari solusi, terutama dengan memburuknya situasi di Gaza, perluasan permukiman Israel, dan ancaman aneksasi Tepi Barat.

BACA JUGA BERITA OLAHRAGA BASKET : FitPlay Journal

Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Sigrid Kaag, memperingatkan bahwa peluang tercapainya solusi dua negara kian mengecil.

“Masyarakat di wilayah ini bisa keluar dari periode ini dengan damai, aman, dan bermartabat. Namun, ini mungkin kesempatan terakhir kita untuk mencapai solusi dua negara,” ujar Kaag, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (27/2/2025).

Kaag menegaskan bahwa sekadar mengeluarkan pernyataan tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, solusi dua negara secara geografis semakin tidak memungkinkan tanpa keterlibatan politik dan diplomasi yang aktif.

Sejarah dan Tantangan Solusi Dua Negara

Solusi dua negara telah lama dianggap sebagai jalan menuju perdamaian. PBB pertama kali mengusulkan pembagian wilayah Palestina pada 1947, tetapi rencana tersebut ditolak oleh pihak Arab. Pada 1993, Perjanjian Oslo memberikan harapan baru ketika Israel menarik pasukannya dari sebagian Tepi Barat dan memberikan kewenangan terbatas kepada Otoritas Palestina (PA).

Namun, serangkaian provokasi politik, serangan teroris, dan pembangunan permukiman ilegal menghambat implementasi solusi ini. Pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada 1995 oleh ekstremis sayap kanan semakin memperburuk situasi.

“Solusi dua negara masih merupakan ide yang baik,” kata Mairav Zonszein, pakar politik Israel dari International Crisis Group. “Namun, implementasinya tergantung pada kemauan politik kedua belah pihak serta komunitas internasional untuk berinvestasi dalam perdamaian.”

Situasi di Tepi Barat dan Gaza Memburuk

Dalam pertemuan Dewan Keamanan, Kaag juga menyoroti eskalasi militer Israel di Tepi Barat sejak 21 Januari, terutama di Jenin, Tubas, dan Tulkarm.

“Pasukan Israel telah melancarkan serangan udara dan menggunakan senjata berat, sementara militan Palestina melakukan serangan dengan bom rakitan dan penembakan,” ujarnya.

Kaag menyerukan penghormatan terhadap gencatan senjata dan menyelesaikan negosiasi pembebasan sandera untuk menghindari eskalasi lebih lanjut.

Indonesia Konsisten Mendukung Palestina

Indonesia terus menunjukkan dukungannya terhadap Palestina. Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menegaskan bahwa solusi dua negara adalah opsi terbaik meskipun menghadapi banyak tantangan.

“Di Israel, kelompok garis keras menolak keberadaan negara Palestina. Sementara di Palestina, kelompok seperti Hamas juga menentang solusi dua negara dan menginginkan satu negara Palestina,” ujar SBY.

Ia menekankan bahwa keberhasilan solusi dua negara bergantung pada konsensus internal di kedua pihak.

“Indonesia, sejak era Bung Karno hingga Presiden Prabowo Subianto, konsisten mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina melalui PBB, diplomasi Timur Tengah, serta Organisasi Kerja Sama Islam (OKI),” tambahnya.

Presiden Prabowo Subianto juga menyuarakan dukungan terhadap solusi dua negara dalam World Government Summit 2025, sejalan dengan Menteri Luar Negeri Sugiono yang menekankan solusi ini sebagai jalan terbaik menuju perdamaian.

Solusi Dua Negara Dinilai Tidak Adil bagi Palestina

Di sisi lain, Guru Besar Geopolitik Timur Tengah, Prof. Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA, menilai solusi dua negara tidak adil bagi Palestina karena wilayahnya kini hanya tersisa sekitar sepertiga dari yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB 1947.

“Penduduk Palestina sekitar 7,25 juta, sementara jumlah orang Yahudi di Israel mencapai 7,2 juta. Pembagian wilayah yang ada saat ini tidak adil bagi Palestina,” katanya.

Sebagai alternatif, ia mengusulkan konsep One Democratic State, di mana warga Yahudi dan Palestina hidup bersama dalam satu negara demokratis, serupa dengan model pemerintahan di Lebanon.

Sementara itu, pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu menyoroti peran Amerika Serikat dalam konflik ini.

“AS adalah sekutu utama Israel dan selama ini cenderung membiarkan kolonialisme Israel. Jika Donald Trump kembali berkuasa, Israel bisa lebih cepat mengambil alih Gaza,” ujarnya.

Dinna juga menilai bahwa restrukturisasi PBB mungkin diperlukan untuk memastikan keadilan dalam penyelesaian konflik.

“Palestina adalah wilayah yang dijajah. Dunia harus sadar bahwa kebijakan AS mendukung Israel adalah pelanggaran terhadap Piagam PBB,” tegasnya.

Kesimpulan

Konflik Israel-Palestina tetap menjadi salah satu isu global paling kompleks dan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Solusi dua negara yang selama ini dianggap sebagai jalan terbaik semakin diragukan, sementara ketidakpastian politik terus menghambat upaya perdamaian.

Peran komunitas internasional, termasuk Indonesia, menjadi krusial dalam mendorong solusi yang adil dan berkelanjutan bagi kedua pihak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *